Pages

Inilah karya tulis dari mahasiswa Fakultas Teologi UKIT bagi setiap mahasiswa yang berminat karyanya dimasukan dalam postingan blog ini... silahkan kirim karya tulis anda ke email resmi kami yaitu: demfteologi@yahoo.co.id... jangan lupa juga berkunjung ke website resmi Fakultas Teologi UKIT di http://fakultasteologiukit.net/ mohon maaf jika terjadi salah penulisan dalam setiap postingan yang ada... kami mohon kritik serta saran dari para pembaca sekalian...

Terancamnya Biota Laut dan Terumbu Karang di Teluk Manado: Dampak dari Reklamasi di Pantai Manado


Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Indonesia dikenal dengan negara kepulauan dengan memiliki keanegaragaman jenis hayati di dalamnya. Dengan memiliki sekitar 17.508 pulau, baik besar maupun kecil, dan garis pantai sepanjang 95.181.km. Dengan fakta geografis demikian, Indonesia kemudian dikenal sebagai salah satu negara mega-biodiversity suatu tingkat kandungan keanekaragaman hayati yang tinggi terutama di pesisir dan laut, bahkan negara yang memiliki garis pantai terpanjang ke-dua di dunia setelah Kanada.[1]
Dari potensi besar yang dimiliki ini, maka tidak mengherankan banyak kota-kota besar dan strategis berada dan berkembang pesat di daerah pesisir pantai yang salah satunya adalah kota Manado. Akibatnya populasi penduduk dan kegiatan pembangunan di daerah pesisir pantai menjadi semakin pesat pula. Pesatnya pembangunan untuk berbagai peruntukan seperti pemukiman, perikanan, pelabuhan, obyek wisata dan lain-lain, yang cenderung didominasi oleh pembangunan secara struktur keras, menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pantai dan laut. Semakin besar tekanan ekologis yang terjadi akan semakin mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir pantai, laut dan pulau-pulau kecil yang berada disekitarnya. Kecenderungan yang memprihatinkan adalah kerusakan lingkungan pantai dan lautan yang justru disebabkan oleh paradigma dan praktek pembangunan yang selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Letak Geografis[2] Kota manado terletak di ujung Jazirah utara pulau Sulawesi, pada posisi geografis 124°40' - 124°50' dan 1°30' - 1°40' LU. Iklim di kota ini adalh iklim tropis dengan suhu rata-rata 24° - 27° C. Curah hujan rata-rata 3.187 mm/tahun dengan iklim terkering di sekitar bulan Agustus dan terbasah pada bulan Januari. Intensitas penyinaran matahari rata-rata 53% dan kelembaban nisbi ±84 %. Luas wilayah daratan adalah 15.726 hektar. Manado juga merupakan kota pantai yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer. Kota ini juga memiliki perbukitan dan barisan pegunungan. Wilayah daratannya didominasi oleh kawasan berbukit dengan sebagian daratan rendah di daerah pantai. Interval ketinggian daratan antara 0-40 % dengan puncak tertinggi di gunung Tumpa.
Wilayah perairan kota manado meliputi pulau Bunaken, pulau Siladen dan pulau Manado Tua. Pulau Bunaken dan Siladen memiliki topografi yang bergelombang dengan puncak setinggi  200 meter. Sedangkan pulau Manado Tua adalah pulau gunung dengan ketinggian ± 750 meter. Sementara itu perairan teluk manado memiliki kedalaman 2-5 meter di pesisir pantai sampai 2.000 meter garis batas pertemuan pesisir dasar lereng benua. Kedalaman ini menjadi semacam penghalang sehingga sampai saat ini intensitas kerusakan Taman Nasional Bunaken relatif rendah. Jarak dari kota Manado ke Tondano adalah 28 Kilometer, ke Bitung 45 km, ke Langowan 50 km dan ke Amurang 58 km.
Batas kota manado adalah sebagai berikut:
Utara               : Kabupaten Minahasa dan selat Mantehage
Selatan             : Kabupaten Minahasa
Barat                : Teluk Manado
Timur               : Kabupaten Minahasa 

2.      Masalah Reklamasi Pantai dan Pembangunan tata ruang Kota Manado
Istilah reklamasi adalah sebuah usaha untuk memperluas tanah dengan memanfaatkan daerah-daerah semula yang tidak berguna. Dan reklamasi pantai adalah sebuah bentuk memperluas tanah atau membuka tanah untuk digarap dari garis pantai untuk ditutupi dengan tanah dengan maksud dan tujuan tertentu yang memanfaatkan daerah yang dulunya sangat berguna dan bukan tidak berguna.[3]
Reklamasi pantai ini sudah dan masih sementara berlaku terjadi di daerah pesisir pantai kota Manado khususnya di sepanjang jalan Boulevard (pantai boulevard) sejak tahun 1990-an dan sekarang ini menjadi pusat pekonomian dan bisnia dari provinsi Sulawesi Utara yang dulunya merupakan ruang publik sebagai tempat wisata masyarakat dan tempat pencarian nafkah para nelayan yang tinggal di pesisir pantai.
Kota manado yang memiliki panjang garis pantai sekitar ±17-18 kilometer dari pesisir Malalayang II hingga Tongkaina/Bahowo. Di sepanjang pantai itu, terdapat terumbu karang terutama di Malalayang, Pondol dan Molas hinga Tongkaina. Terumbu karang di Pondol telah ditimbun PT. Megasurya. Menurut Walikota Manado Lucky Korah (1997) “dalam era globalisasi yang berdampak pada persaingan terbuka antar kota, maka peningkatan daya tarik kota Manado harus dikembangkan dengan mengubah penampilan kota sedemikian rupa.”[4]
Kota manado yang dulunya dikenal dengan kota pantai, bahkan bila pagi atau sore hari para nelayan mencari ikan di sepanjang pantai Manado, namun semua itu kini tinggal kenangan, seiring perkembangan zaman. Pantai Manado kini berubah secara total, sepanjang garis pantai manado dan Laut Manado, telah direklamasi untuk membangun gedung-gedung hotel, perkantoran dan “mall” yang megah.

3.      Kebijakan Pemerintahan dan Pelaksanaan Event International
Kota manado menjadi tuan dan nyonya rumah penyelenggara event Interenational dalam bidang kelautan World Ocean Confrence (WOC) yang membahas masalah kelautan di dunia dan Coral Triangel Initiative – Summit (CTI - Summit) yang sukses diselenggarakan 11-15 Mei 2009 dan yang terakhir pelaksanaan ARF-DIREX sehingga mengharumkan nama indonesia di mata dunia. Dengan demikian indonesia berperan penting di bidang lingkungan.
Coral Triangel Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan sumber hayati laut terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa sumber daya kelautan dan pesisir pantai merupakan bagian terintegrasi dari siklus karbon. Regional Plan of Action menggambarkan Reaksi Aksi 10 tahun mendatang pengelolaan berkelanjutan dan konservasi sumber daya pesisir dan laut si kawasan Coral Triangel dengan arah yang disepakati antara lain:
1.      Pengelolaan efektif bentang laut prioritas;
2.      Pengelolaan perikanan dan sumber daya kelautan berbasis ekosistem;
3.      Pengelolaan kawasan konservasi laut dan jejaringnya;
4.      Adaptasi sumber daya laut dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim;
5.      Mempertahankan dan meningkatkan populasi spesies yang terancam punah.
Presiden SBY berpidato mendukung dan menandatangani deklarasi ini.[5]

Teluk Manado yang memiliki kekayaan alam dalam biota laut dengan nilai terumbu karang yang tinggi dan terkenal diseluruh dunia khususnya di daerah pulau Bunaken dan Taman Laut Bunaken sehingga kembali dilaksanakan event dunia lagi yang bernama Sail Bunaken ……………... Dan yang terakhir adalah ASEAN Region Forum Disaster Relief Exercise (ARF-DiREx)

Peristiwa-peristiwa ini kelihatannya hanya seperti suatu usaha yang kurang berdampak positif bagi keberadaan ekologi malah semakin memperburuk alam yang ada di kota Manado. Contohnya reklamasi pantai yang masih saja dilakukan kemudian pembangunan gedung-gedung di daerah tersebut yang semakin memperburuk keindahan alam atau panorama kealamian Pantai atau Teluk Manado hanya untuk pertumbuhan ekonomi dan bisnis tanpa ada kepedulian terhadap ekologi atai lingkungan hidup itu sendiri. Ada bermacam-macam aspek yang telah dicederai dengan reklamasi pantai ini, seperti terancamnya terumbu karang, jenis-jenis biota laut, garis pantai semakin digerogoti, mata pencaharian para nelayan, dll.
Ada juga beberapa pernyataan dari pihak pemerintah untuk dihentikannya reklamasi pantai “Stop reklamasi di Pantai Manado, cukup di Boulevard, sebab masyarakat kota Manado butuh ruang publik,” demikian dikatakan pelaksana harian tugas Walikota Manado, Roby Mamuaya, di ruang kerjannya Kamis 15 April.[6] Sama halnya juga dengan yang disampaikan oleh Gubernur Sulawesi Utara Bpk. Drs. S. H. Sarundajang, bahwa hentikan reklamasi pantai[7]. Hal ini pun mendukung untuk pencegahan perusakan lingkungan yang berdampak pada Pemanasan Global atau Climate Change. Dan pastilah saat ini sadar atu tidak sadar sementara dirasakan oleh seluruh masyarakat dengan meningkatnya suhu udara di daerah Sulawesi Utara dan khususnya di kota Manado. Jika cuaca panas maka akan terasa suhu udara panas meningkat  dan jika terjadi hujan maka di kota Manado sering banjir.
Jadi, kegiatan-kegiatan tersebut sepertinya hanya sebuah usaha dari kesuksesan kepemerintahannya yang tidak mendengarkan aspirasi dan inspirasi dari rakyat. Dampak dari kegiatan tersebut yang sebenarnya harus berkaitan dengan bidang ekologi namun notabenenya hanya lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan pariwisatanya.

Analisis Teologis
a.      Kajian Teori Etika Lingkungan
Menurut Sonny Keraf dalam bukunya “Etika Lingkungan” dari teori biosentrisme menjelaskan bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri, teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga harus mendapat pertimbangan dan kepedulian moral atau mendapat perlindungan dan keselamatan.[8]
Manusia sebagai pelaku moral harus berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap makhluk hidup dan alam semesta menjadi objek moral. Manusia tidak dilihat sebagai penguasa atau yang lebih unggul dan superior dari makhluk hidup yang lain. Biosentrisme dengan cara pandang dan sikapnya ingin menegaskan dan mengukuhkan hak bumi untuk tetap berada dan berkembang dalam keadaan yang alamiah. Dari etika bumi dengan pemahaman yang konservasi merupakan suatu perwujudan cara pandang dan sikap tertantu terhadap alam, terhadap bumi atau terhadap segala sesuatu sebagai subjek moral dan komunitas moral.

b.      Masalah Teologis
Pada tahun 1975 Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) berkumpul di Nairobi. Di sana mereka mengaku bahwa polusi Planet Bumi merupakan isu teologis. Antara Sidang Raya di Nairobi dan Sidang raya yang berikutnya di Vancouver (1983) ada pengakuan bahwa Bumi sedang menghadapi krisis yang tidak dapat diubah. Pada Sidang Raya di Vancouver inilah “Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” didiskusikan. Konsep-konsep tentang penatalayanan yang bertanggung jawab dan masyarakatyang adil dan berkelanjutan dipandang sebagai pokok yang mempunyai relevansi ekologis dan teologis.[9] Sehingga menjadi wacana sebagai program DGD tentang pembangunan manusia dan masalah ekologi (lingkungan hidup)
c.       Refleksi Teologis
Pengakuan Iman lewat kesaksian Alkitab menerangkan bahwa Tuhan Allah adalah Tuhan yang penuh kasih menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya. Kitab Kejadian 1:31 mengatakan bahwa “Allah melihat segala seuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Bahkan Dia tidak melupoakan satu ekorpun burung pipit (Luk. 12:6) dan di dalam Kristus telah diciptakan segala sesuatu (Kol. 1: 15). Bayangkan saja jika yang Tuhan rasakan ketika manusia yang adalah salah satu ciptaan-Nya, tanpa bertanggung jawab menghancurkan, merusak dan memusnahkan ciptaan-Nya itu?
Sebagai Pengikut Yesus Kristus harus diakui bahwa Bumi dan segala isinya sedang dan sementara terancam kehidupannya. Makin lama makin banyak pula jenis binatang dan tumbuhan yang terancam punah. Sedikit demi sedikit keseimbangan ekosistem terganggu dan aka datang pada saat di mana terjadi kehancuran. Dalam hal ini sikap bertanggung jawab dari manusia sangat diperlukan, bukan hanya sekedar kesadaran semata tetapi haruslah menjadi identitas atau jati diri bahkan membudaya pada tiap diri manusia. Jika tidak ada sedikitpun upaya yang dilakukan selanjutnya maka manusia akan menjadi sejenis makhluk hidup yang terancam sama seperti makhluk hidup yang lainnya di Bumi yang sudah terlebih dahulu rusak, tidak ada udara yang bersih, air untuk diminum atau makanan untuk dimakan. Setiap orang, yang berkulit putih maupun hitam dan sawo matang; tak peduli laki-laki atau perempuan; tuan dan yang muda, kaya ataupun miskin; dari suku, ras, atau bangsa mana ataupun bahkan agama yang dianutnya harus menghadapi kenyataan ini. Memang bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi setiap usaha, kita yakini pasti diperhitungkan dan dipertimbangkan oleh Tuhan. Mengapa tidak untuk menjaga, melestarikan dan memelihara lingkungan hidup kita di Bumi demi kelangsungan hidup dan masa depan setiap makhluk hidup “aku, engkau, dia dan mereka.

Penutup
1.      Kesimpulan
Ternyata berbicara mengenai masalah ekologi jauh sebelumnya telah menjadi pembahasan dari para teolog atau tokoh-tokoh bahkan di tingkat dunia pada Sidang Raya DGD di Nairobi-Vancouver. Masalah ini sudah termasuk dalam bidang teologis.
Sesuai dengan pengertian biosentrisme itu sendiri yang pada dasarnya seluruh kehidupan atau makhluk hidup memiliki nilai. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral. Persoalannya siapakah makhluk hidup yang bermoral? Itula manusia yang memiliki akal, pikiran, perasaan yang denga sendirinya memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan segala keputusannya. Manusia masuk dalam komunitas moral, yang dimana setiap kehidupan dalam alam semesta baik manusia maupun yang bukan manusia mempunyai nilai moral. Dengan demikian etika berlaku bagi seluruh komunitas biotis, termasuk komunitas manusia dan konumitas makhluk hidup lain. Sederhananya manusia yang sebagai pelaku moral dengan demikian harus bertanggungjawab akan setiap yang terjadi pada subjek moral yaitu seluruh kehidupan dan makhluk hidup.
Dikaitkan dengan kasus reklamasi pantai yang terjadi di Manado, merupakan suatu bentuk tindakan yang tidak bermoral, yang dilakukan oleh manusia dengan merusak alam atau makhluk hidup yang ada. Pandangan biosentrisme tidak bisa menerima dengan perlakuan tersebut. Dan nampaknya manusia belum menyadari akan hal tersebut bahwa mereka masih berpandangan antroposentrisme yang lebih mengutamakan kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi, perluasan tanah denga menutup sebagian pantai yang mengakibatkan banyak biota laut dan spesies laut menjadi berkurang bahkan punah.
Pelaksanaan reklamasi pantai yang merusak lingkungan hidup makhluk hidup dan kehidupan di dalamnya. Yang seharusnya menjaga kealamian dari lingkungan yaitu manusia sebagai pelaku moral menurut pandangan biosentrisme. Dan sudah seharusnya manusia yang bertanggungjawab atas reklamasi pantai tersebut yang sekarang berdampak pada kehidupan manusia dan alam sekitar, ketika hujan deras akan mengalami bencana alam (banjir, longsor), dan biota laut. Dan inilah suatu rangkaian peristiwa dari dampak pemanasan global.


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_length_of_coastline.
[2] http://Kota_Manado dan reklamasi pantai.htm
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
[4] http://reklamasi-pantai-manado.html
[5] http:/Anti Reklamasi Pantai Malalayang, Manado Facebook.htm
[6] http://Stop reklamasi pantai di mdo.htm
[7] http://videoYouTube.
[8] S. Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas,2002). Hal 49-50.
[9] Band. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaaan Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 1996) Hal. 189-190.


Oleh: Yonatan D. Kembuan

0 komentar:

Posting Komentar